"Sudah ku bilang tak seharusnya kita bertemu!". Kataku dengan nada yang tinggi.
Ian hanya terdiam dan menunduk. Ku tahu ini bukan salah Ian bukan pula salahku, takdir yang membuat kita berada di posisi yang tak seharusnya. Ian menghela napas panjang, seperti biasa pria yang selalu terlihat tenang dan seakan-akan hanya ia yang Tuhan kirim untuk menyelesaikan masalahku. Padahal setiap masalah yang ku hadapi, Ian lah penyebabnya.
"Rai tenang, aku tau ini salah. Maaf". Ia memegang kedua pundakku lalu menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku telah membuatmu salah paham akan sifatku". Lanjutnya dengan tetap menunduk dan entah mengapa hatiku merasa sakit mendengar hal itu.
Masih terbayang dalam benakku, sore itu ketika cuaca sangat cerah, seorang teman lama mengajakku bertemu. Dia Ian-sahabat kecilku, yang aku temui di depan rumahku sedang menangis di ganggu anak badung di kompleks rumahku. aku masih ingat dengan jelas, Ian kecil saat itu menangis hingga ngompol di celana merah selututnya. Betapa lucunya dia dengan tubuh yang kecil di banding anak seusianya, kulitnya yang sawo matang serta rambutnya yang sering ku juluki rambut batok kelapa. Mengapa demikian?, karena kulihat rambutnya seperti di cetak batok kelapa dengan poni lurus setengah menutupi dahinya yang lebar.
"Ian dijahatin mereka Ka Rai". Rengeknya padaku saat aku muncul dari gerbang rumah, seolah-olah aku super hero atau mungkin malaikat yang akan menolongnya.
"Ian jangan sedih, ada aku". Kataku so jagoan dengan topi yang di balik, lengan baju yang di lipat berwarna putih serta membawa pistol air yang ku pegang di tangan kananku. Baru melihatku saja mereka sudah lari ketakutan, aku tertawa dalam hati dan langsung memeluk Ian.
Ku akhiri lamunan masa lalu yang lucu itu. Aku kembali merias wajahku dan cepat-cepat meninggalkan kamar yang kini jadi satu-satunya tempat ternyaman di rumahku.
Tak menunggu waktu lama, kuliah sebuah motor scoopy berhenti tepat di depan gerbang rumahku. Ia membuka kaca helm full facenya, sambil tersenyum manis.
"Selamat sore mba, dengan mba Rainy Chandra Putri?". Tanyanya, aku langsung memukul helmnya dan ia kesakitan.
"Masih garang aja lu, Rai". Lanjutnya sambil mengelus helmnya yang katanya mahal.
"Lu lama banget sih! Mana sekarang berani panggil nama gw doang!". Teriakku sambil menggunakan helm yang pria itu berikan.
"Gak masalah dong lu sama gw kan seumuran. Tapi gw heran kenapa gw dulu panggil lu kakak ya. Mungkin lu terlihat lebih tua". ia tertawa cekikikan pertanda puas mengejekku.
Pria itu Riyan Prawira, yang sering ku panggil Ian. Teman masa kecilku yang dekil namun sekarang glow up. Ya, sekarang dia tumbuh menjadi pria yang sangat tampan. Kulitnya kini putih bersih, tubuhnya wangi, rambutnya yang ikal sebahu di ikat bendul menambah karismanya. Andai saja dia bukan teman masa kecilku, mungkin aku akan sangat jatuh hati padanya.
Di sepanjang perjalanan ia bercerita tentang dirinya yang di paksa makan oleh ibunya sebelum pergi bersamaku. Ian juga bercerita selepas ke pindahannya ke Bandung hingga kembali pulang ke Cianjur. Pria rewel ini kini menjelma menjadi pria yang sangat bawel. Namun aku suka hal itu, ia tak seperti dulu pendiam tak bicara dan tak pernah mengungkapkan apa yang ia rasa. Ia sekarang lebih baik lagi.
"Rai, jadi kita mau makan dimana?".
"Serah lu dah, gw udah males Cianjur banyak berubah!". Jawabku dengan nada yang sangat kecewa.
"Santai bro, kan berubah ke arah lebih baik. Kenapa lu mesti sedih".
"Gini deh, gimana kalau kita makan di tempat baru buka deket alun-alun. Gw sekalian mau liat proses pembuatan alun-alun". Kata Ian penuh semangat yang ingin melihat megahnya alun-alun Cianjur yang sedang di renovasi.
Aku mengangguk tanda setuju. Sepeda motor kami melaju kencang menembus jalan Cianjur yang selalu macet akhir-akhir ini. Cianjur sore itu cerah, warna pink dan orange mewarni langit yang menjadi saksi akan kisah kita berdua. Setiap jalan Cianjur seperti tak asing bagi seorang Ian yang sudah lama menetap di Bandung. Aku ikut terheran-heran, padahal beberapa ini, hampir selurus jalan di ubah.
Kami memutuskan untuk solat magrib terlebih dahulu di Mesjid Agung Cianjur, mungkin lebih tepatnya hanya Ian yang solat karena aku sedang tidak solat, taulah masalah wanita. Ketika Ian sedang solat aku membaca buku Catatan Juang karya Fiersa Besari. Aku duduk di pos satpam penjaga mesjid depanku toko buku kios Cianjur. Aku fokus membaca hingga tak sadar Ian dari tadi melihatku dari kejauhan.
"Hei!". Aku kaget mendengar suara Ian
"Aku tadi liatin kamu loh, terus mikir kalau yang nungguin aku solat itu istri aku gimana gitu". Katanya sambil berlalu meninggalkan aku yang masih berkutik dengan bukuku.
Aku mengekor pada Ian, motor kami putuskan parkir di mesjid saja, biar sekalian parkirnya. Sungguh sangat perhitungan anak ekonomi ini. Aku terus mengekor sampai di tempat yang kita tuju. Kami memilih tempat paling atas, dan menghadap pada jalan raya serta gedung toko kain yang sudah tutup. Satu beca dengan si amangnya yang mungkin ketiduran di dalamnya terparkir tepat di samping toko kain itu.
"Lu mau makan apa?'. Tanya Ian sambil memberikan daftar menu
"Ayam rica-rica deh".
"Okay, siap bosquee". Ia pergi untuk membayar dan aku kembali asyik melihat mobil yang hilir mudik.
Tak lama kemudian Ian datang dan ikut melihat mobil yang dari tadi ku pandangi.
"Rai, are you okay?". ia memulai pembicaraan
"Aku baik-baik saja".
"Tapi, lu kaya ada masalah". Aku tetap terdiam hingga pramusaji mengantarkan makanan kami dan tak lupa aku mengucapkan terimakasih.
"Oh ya Rai, lu sekarang suka naik gunung ya?". Ian mencoba mencairkan suasana yang entah mengapa setelah aku melamun suasana sedikit canggung.
"Enggak, Ian. gw baru pertama kali naik gunung itu juga karena gw di campakkan sama pacar gw". Ian ketawa keras hingga beberapa orang melihat ke arah kami berdua. aku langsung memukul kepala Ian dengan sangat keras.
"Kok gw ngakak dengernya, seorang Rai yang garang bisa galau juga".
"By the way, gw mau nanya sama lu? kapan lu mau nikah?".
"Maybe, pas umur gw 27 tahun". Tanganku yang nakal mengambil chicken katsu favorit Ian.
"Please deh Rai, ketuaan kalau cewek 24 aja deh ya!". Paksa Ian
"Lu kaya yang mau nikahin gw aja Ian". Tawaku sambil menatap Ian
"Ya kali aa kita jodoh Rai". Jawab Ian dengan tawanya yang khas.
Obrolan kita terus mengalir dari mulai pendidikan Ian yang terus berubah setiap tahunnya hingga akhirnya kini satu angkatan denganku yang berhenti tiga tahun setelah usai menyelesaikan Sekolah Menengah Atasku. Hingga obrolan yang merajuk pada agama, politik, sosial dan budaya. jujur aku sangat terkejut dengan perubahan Ian yang sangat pesat. Banyak hal yang ia kembangkan setelah kepindahannya.
"Ian, sebenernya gw sempet mau bunuh diri!". Aku mengeluarkan kalimat yang dari tadi aku ragu untuk bercerita padanya.
Ian menghentikan meminum kopi V60 nya, lalu menatapku.
"Jangan lagi-lagi ya! Sekarang ada aku, kalau ada apa-apa cerita sama aku!". Ia menatapku penuh kasih sayang dan ini pertama kalinya lagi aku melihat tatapan yang sudah lama tak aku lihat.
"Ian, kayanya kita harus sering-sering deh ketemu dan ngobrol kaya gini".
"Pasti, aku jani setiap bulan kita harus ketemu minal sekali makan sambil ngobrol kaya gini, sesibuk apapun kita". Ia tersenyum dan aku balas senyum manis itu.
Tak pernah aku bayangkan hari itu dan kalimat yang Ian ucapakan menjadi awal dari kebohongan-kebohongan Ian selanjutnya.